Senin, 19 September 2011

Nonton TV Berjam-jam Tingkatkan Risiko Kematian


Orang yang gemar menonton televisi hingga berjam-jam ternyata meningkatkan risiko kematian dengan berbagai sebab. Penelitian terbaru bahkan menyebutkan, setiap jam yang kita habiskan untuk memelototi layar televisi bisa meningkatkan 11 persen risiko kematian dari sebab-sebab apa pun, dan 18 persen dari penyakit kardiovaskular saja. Studi ini diperoleh dari pengamatan mengenai hubungan antara kebiasaan menonton televisi dan kematian 8.800 orang Australia.
Saat nongkrong di depan televisi, Anda pasti tak sendiri, melainkan ditemani sebungkus keripik kentang, gorengan, ditambah teh manis atau minuman bersoda. Bila sudah memangku kantong keripik, Anda pasti bisa duduk sampai malam. Itu sebabnya orang seperti ini disebut sebagai Mr Couch Potatoes.

Penemuan ini terlepas dari fakta bahwa para peneliti juga memperhitungkan faktor lain yang dapat meningkatkan risiko kematian, seperti usia, gender, lingkar pinggang, dan kebiasaan berolahraga.
Sebanyak 3.846 pria dan 4.954 wanita Australia berusia di atas 25 tahun dan memiliki sejarah penyakit kardiovaskular mengikuti penelitian ini. Responden ditanya mengenai gaya hidup mereka, termasuk berapa lama waktu menonton televisi dalam minggu terakhir. Peneliti juga memeriksa kadar kolesterol dan gula darah responden.

Meskipun penelitian yang berlangsung selama 6 tahun ini hanya melibatkan orang Australia, orang Amerika juga perlu berhati-hati. Orang Australia dan Inggris rata-rata menonton televisi 3 jam sehari. Sedangkan menurut lembaga riset media Nielsen, orang Amerika rata-rata menonton televisi selama 5 jam. Mereka yang menonton televisi selama 4 jam atau lebih memiliki peningkatan risiko sebanyak 46 persen akibat sebab apa pun, dan 80 persen akibat penyakit kardiovaskular.

Penelitian ini juga hanya berfokus pada kebiasaan menonton televisi karena itulah aktivitas utama dalam banyak negara maju (ketimbang tidur). Meskipun demikian, disinggung juga bahwa duduk di depan komputer sepanjang hari juga memiliki risiko yang sama.

"Banyak aktivitas normal dalam kehidupan sehari-hari seperti berdiri, atau menggerakkan otot di tubuh, sudah berubah menjadi duduk," ujar David Dunstan, penulis studi dan peneliti di Baker IDI Heart and Diabetes Institute di Victoria, Australia.

Perubahan teknologi, sosial, dan ekonomi membuat orang tak lagi menggerakkan otot-otot mereka sebanyak dulu. Dengan sendirinya tingkat penggunaan energi sepanjang hidup mereka juga berkurang. "Bahkan untuk orang dengan berat tubuh yang sehat, duduk dalam waktu lama tetap merupakan pengaruh tak sehat terhadap kadar gula darah dan lemak darah," tukasnya.
Di Indonesia, rasanya sih faktanya tak jauh berbeda. Sinetron yang ditayangkan sejak sore hingga tengah malam tentu akan mengikat penggemarnya di depan televisi. Mudah-mudahan Anda tak termasuk di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar